Thursday 30 May 2013

sub-pokok bahasan 2

 SEJARAH PERKEMBANGAN DAN MANFAAT TEKNIK KULTUR JARINGAN

Pendahuluan
Membahas sejarah perkembangan kultur jaringan tidak dapat lepas dari sejarah perkembangan pengetahuan tentang sel. Dimulai dari penemuan mikroskop oleh Zakarias Jansen pada 1590, seorang pembuat kacamata dari Belanda, yang kemudian disempurnakan oleh Anthoni van Leeuwenhoek. Penemuan dan pengembangan mikroskop memungkinkan kita melihat struktur tubuh tumbuhan secara detail, seperti yang dikemukan oleh Robert Hooke seorang ahli matematika, dia menyamakan sel sebagai building block dari jaringan hidup. Pada tahun 1838-1839 seorang ahli botani, MV. Schleiden dan Theodore Schwann (ahli zoologi) lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan sel yang pada akhirnya melahirkan konsep totipotensi sel.

Teknik kultur jaringan yang semula digunakan untuk membuktikan teori totipotensi sel selanjutnya berkembang, selain menunjang ilmu-ilmu dasar seperti embriologi, fisiologi, biokimia dan genetika, sekarang terbukti dapat diaplikasikan pada bidang agroindustri dan farmasi.

 Materi subpokok bahasan 2
Percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa sel bersifat totipoten pertama kali dilakukan oleh Gottlieb Haberlandt seorang ahli botani dari Jerman pada tahun 1898 dan dipublikasikan pada 1902. Percobaannya dilakukan dengan mengisolasi sel daun Lamium purpureum , Erythronium, Ornithogalum dan Tradescantia, sel yang dikulturkan tetap viabel selama beberapa minggu tetapi tidak pernah membelah, sehingga dapat dikatakan percobaannya belum berhasil. Kegagalan percobaan Haberlandt terutama disebabkan karena kultur  dilaksanakan pada medium yang sangat sederhana dan tidak aseptis, menggunakan eksplan mesofil sel yang sudah sangat terdiferensiasi, dan tidak menggunakan zat pengatur tumbuh, pada waktu itu zat pengatur tumbuh belum diketemukan. Zat pengatur tumbuh berperan sangat penting pada proses pembelahan sel dan diferensiasi in vivo dan in vitro. Auksin ditemukan pada 1928-1930 oleh Went dan Thiman, sedangkan sitokinin baru pada 1955 oleh Miller dan kawan-kawan.


 Beberapa dekade setelah percobaan Haberlandt, penelitian-penelitian kultur in vitro tumbuhan lebih ditekankan pada kultur multiselular (jaringan atau organ) sebagai eksplan. Riset ini dipelopori oleh Philip Rodney White (1939), Roger Gautheret (1939), dan Piere Nobecourt (1939). White berhasil menumbuhkan potongan ujung akar tomat (Licopersicon esculetum) pada medium cair yang mengandung garam-garam anorganik, ekstrak yeast, dan sukrose. Pada waktu yang bersamaan Gautheret dari Perancis berhasil memacu pertumbuhan potongan jaringan kambium Salix caprea membentuk kalus dengan menambahkan zat pengatur tumbuh IAA pada medium kultur. Nobecourt berhasil mengembangkan teknik kultur kalus dengan eksplan umbi akar wortel (Daucus carota) Skoog dan Miller pada 1957 berhasil mengatur pertumbuhan akar dan tunas (organogenesis) dari kalus tembakau dengan menggunakan kombinasi auksin dan sitokinin pada medium. Pada tahun 1958 J. Reinert dan FC. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel pada kultur suspensi sel dengan eksplan umbi akar wortel. Didalam kultur ditemukan adanya embrio yang strukturnya mirip dengan embrio zigotik, kemudian disimpulkan bahwa embriogenesis telah terjadi secara in vitro. Pada waktu itu masih diperdebatkan apakah munculnya embrio yang kemudian jadi plantlet tersebut berasal dari sebuah sel atau kelompokan sel, didalam perkembangannya kemudian, dengan menggunakan teknik cell tracking, terbukti bahwa plantlet berasal dari sebuah sel.
Implikasi dari penemuan sitokinin adalah dimungkinkannya induksi pembentukan tunas secara in vitro pada berbagai tanaman hortikultura, sehingga dapat diaplikasikan untuk perbanyakan vegetatip (mikropropagasi). Pada kultur meristem, tanaman bebas virus dapat diperoleh dari tanaman yang sudah terinfeksi. Tanaman yang steril atau tidak dapat menghasilkan biji, dapat diperbanyak dengan mikropropagasi, teknik ini berkembang pesat antara 1960-1970.







Pertumbuhan dan perkembangan sel pada kultur dengan eksplan jaringan atau organ, tidak dapat dikontrol dengan ketat, sehingga bukan merupakan objek eksperimental yang ideal seperti yang dicita-citakan oleh Haberlandt. Objek yang ideal haruslah sel tunggal, sel tunggal dapat diperoleh dengan berbagai cara:
1. Kultur suspensi sel, dalam hal ini sel sudah mengalami dediferensiasi

2. Mikrospora



3. Protoplas, yaitu sel yang sudah dihilangkan dinding selnya.  
Setelah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh J. Reinert dan FC. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel, pada 1966 Guha dan Maheshwari berhasil memperoleh tanaman dari anther Datura innoxia, hasil penelitianyaditerbitkan di jurnal ilmiah Nature. Dari hasil pengamatannya diketahui bahwaplantlet bersifat haploid, jadi berasal dari mikrospora. Dengan perkembanganteknik kultur in vitro, pada 1972 C. Nitsch berhasil menginduksi mikrosporaDatura, Nicotiana, dan Licopersicon langsung menjadi plantlet, mikrosporadiisolasi dari anther kemudian langsung dikulturkan pada medium.
Kemajuan paling akhir dari teknik kultur in vitro adalah ditemukannyateknik kultur protoplas, teknik ini memungkinkan diisolasinya sel tumbuhan dalamjumlah besar langsung dari tanaman, dari kalus, atau dari kultur suspensi sel.Protoplas adalah sel tumbuhan yang sudah dihilangkan dinding selnya, sehingga disebut sebagai sel telanjang. Pada 1960 EC. Cocking berhasil untukpertamakalinya mengisolasi protoplas dari sel-sel akar dengan menggunakan ensim selulase. Cocking juga berhasil menunjukan adanya regenerasi dinding sel disekitar protoplas yang diisolasi dari jaringan loculus buah tomat. Kemajuanyang paling berarti dicapai sekitar tahun 1970 an ketika Nagata dan Takebeberhasil menunjukan adanya pembelahan protoplas yang diisolasi dari mesofil daun tembakau. Pembelahan ini terus berlanjut sampai terbentuk mikrokalus.Masih pada tahun yang sama Takebe, Labib dan Melchers berhasil meregenerasikan kalus, dari protoplas menjadi plantlet. Tahun-tahunsesudahnya jumlah tanaman regenerasi dari protoplas terus bertambah.
Rangkaian pencapaian yang mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sampai saat ini dapat dirangkum sebagai berikut : 

 1900 Percobaan-percoban awal untuk mengulturkan sel dan jaringan
tanaman pada kondisi tidak aseptis.   Formulasi permasalah oleh Haberlandt (1902).  


KULTUR JARINGAN DAN ORGAN 

1930-1950 1. Kultur organ (akar) 2. Kultur jaringan (aseptis): - kalus (penemuan auksin) 
MORFOGENESIS IN VITRO  1950-1960 1. Organogenesis (penemuan sitokinin)
2. Kultur sel (suspensi sel) 3. Embriogenesis somatic 
TEKNOLOGI PROPAGASI IN VITRO  1960-1970 1. Mikropropagasi
2. Tanaman bebas virus 3. Pengawetan plasmanutfah
 HAPLOIDY IN VITRO
1.Kultur anther (pollen embriogenesis) 2.Kultur mikrospora (anorogenesis) 3.Kultur ovule (ginogenesis) 4.Hibridisasi interspesifik dan kultur embrio
 PROTOPLAS
1970-1980 1. Isolasiprotoplas 2. Kultur protoplas 3. Tanaman regenerasi dari protoplas 4. Fusi protoplas 5. Hibridisasi somatic
GENETIKA SEL SOMATIK  1980-sekarang  1. Variasi somaklonal
   2. Teknologi pemulian mutasi in vitro 
REKAYASA GENETIKA  1. Identifikasi gen (teknologi rekombinasi DNA) 2. Isolasi gen 3. Kloning gen

4. Transformasi sel 5. Ekspresi gen 6. Tanaman transgenic 
Teknik kultur jaringan yang semula ditujukan untuk penelitian dasar dibidang biologi, terutama pembuktian totipotensi sel, sekarang telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang lain, terutama dibidang agribisnis dan farmasi.
1. Dibidang agribisnis. Aplikasi yang nyata dari teknik kultur jaringan tumbuhan adalah
dapat menekan beaya produksi karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatip singkat, tidak memerlukan lahan yang terlalu luas, tidak tergantung pada iklim, bebas hama dan penyakit sehingga dapat ditransport kemana saja, melewati batas-batas negara, tanpa melalui proses karantina. Yang lebih penting lagi, karena merupakan perbanyakan vegetatip, maka keturunannya akan sama dengan induknya. Survey yang dilaksanakan di negeri Belanda menunjukan, laboratorium mikropropagasi komersial pada tahun 1988 telah menghasilkan tanaman yang diperbanyak secara klonal sebanyak 65 juta (Pierik, 1988). Sedangkan di Indonesia mikropropagasi klonal telah sangat membantu program Hutan Tanaman Industri, pohon yang berhasil dikembangkan dengan metode ini antara lain Jati (Tectona





SEJARAH, PRINSIP DASAR DAN MANFAAT TEKNIK KULTUR JARINGAN

Pendahuluan 
Tumbuhan dialam bebas sangat bervariasi dan kompleks dalam melangsungkan siklus hidupnya. Untuk dapat mempertahankan generasinya tumbuhan harus memperbanyak diri baik secara vegetatip ataupun generatip. Perbanyakan generatip dimulai dari pertemuan antara gamet jantan dan gamet betina dari tanaman induk. Peleburan kedua gamet tersebut menghasilkan sebuah sel yang disebut zygot, zygot selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan utuh. Sel-sel vegetatip tumbuhan seperti yang terdapat pada akar, batang dan daun, secara alamiah juga mempunyai kemampuan yang mirip dengan zygot, yaitu dapat berkembang menjadi tanaman utuh, sehingga kelangsungan generasinya tetap terjaga. Kemampuan sel-sel vegetatip selain zygot untuk berkembang menjadi tanaman utuh menjadi topik yang sangat menarik perhatian para peneliti. Topik penelitian yang sangat menarik tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik kultur jaringan.
  Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah membaca entri ini diharapkan pembaca akan dapat menjelaskan prinsip dasar, pengertian, sejarah perkembangan serta manfaat teknik kultur jaringan. 
 Subpokok Bahasan 1 : PRINSIP DASAR DAN PENGERTIAN TEKNIK  KULTUR JARINGAN.
 Pendahuluan
Salah satu pembeda sel tumbuhan dengan sel hewan adalah adanya dinding sel pada sel tumbuhan. Dinding sel tumbuhan selain berfungsi memberi bentuk pada sel juga sebagai barier mekanik yang mengisolasi sel-sel dengan lingkungan luarnya. Pada kenyataannya sel satu dengan lainnya yang menyusun jaringan, meskipun secara fisik dibatasi oleh membran plasma dan dinding sel, tidak terisolasi dan masih dapat berhubungan lewat plasmodesmata (symplast). Implikasi dari kenyataan tersebut adalah adanya kontinuitas sitoplasmatik, atau dengan kata lain, informasi genetik yang terdapat dan berawal dari zygot tentulah tersebar keseluruh sel-sel penyusun tubuh tumbuhan. Sel tumbuhan dengan demikian haruslah mengandung seluruh informasi yang diperlukan untuk tumbuh, berkembang, dan berkembang biak, sel demikian disebut totipoten.
  Materi Subpokok Bahasan 1
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ serta menumbuhkannya secara aseptis (suci hama) didalam atau diatas suatu medium budidaya sehingga bagian bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap
kembali.

Prinsip kultur jaringan terdapat pada teori sel yang dikemukakan oleh dua orang ahli Biologi dari Jerman,
M.J.Schleiden dan T. Schwann. Secara implisit teori tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat
autonom dan mempunyai totipotensi. Sel bersifat autonom artinya dapat mengatur rumah tangganya sendiri, disini yang dimaksud adalah dapat melakukan metabolisme, tumbuh dan berkembang secara independen, jika diisolasi dari jaringan induknya. Totipotensi diartikan sebagai kemampuan dari sel tumbuhan (baik sel somatic / vegetativ maupun sel gametik) untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Disamping kultur jaringan, kita juga mengenal istilah kultur in vitro tanaman, istilah ini muncul karena sel, kelompok sel atau organ tanaman tersebut tumbuh, berkembang dan beregenerasi secara aseptis pada medium didalam wadah gelas (tabung) yang transparan. Istilah eksplan digunakan untuk menyebutkan bagian kecil dari tanaman (sel, jaringan atau organ) yang digunakan untuk memulai suatu kultur.
Eksplan yang digunakan didalam kultur jaringan harus yang masih muda (primordia), sel-selnya masih bersifat meristematis dan sudah mengalami proses diferensiasi. Sel-sel mesofil dan stomata pada daun, kambium, korteks dsb adalah bentuk-bentuk sel yang sudah mengalami diferensiasi. Pada primordia daun misalnya, sel- sel yang sudah mengalami diferensiasi tersebut hanya perlu membelah satu atau dua kali saja kemudian berhenti (dorman) selanjutnya akan membentang. Pembelahan sel-selnya juga sudah diprogram untuk menghasilkan sel yang sama misalnya, sel-sel mesofil hanya akan membelah dan menghasilkan sel mesofil juga.
Dengan cara mengisolasi dari tanaman induknya, sel-sel pada eksplan yang tadinya dorman, dihadapkan pada kondisi stres. Kondisi ini akan mengubah pola metabolisme, sel akan memulai siklusnya yang baru, selanjutnya akan tumbuh dan berkembang didalam kultur. Respon yang terlihat pertama kali yaitu terbentuknya jaringan penutup luka, sel-selnya terus membelah, jika pembelahannya tidak terkendali akan membentuk massa sel yang tidak terorganisir atau disebut kalus. Pembelahan sel-sel yang tidak terkendali disebabkan karena sel-sel tumbuhan, yang secara alamiahnya bersifat autotrof, dikondisikan menjadi heterotrof dengan cara memberikan nutrisi yang yang cukup kompleks didalam medium kultur. Sel-sel kalus ini berbeda dengan sel-sel eksplannya, sel-sel menjadi tidak terdiferensiasi, proses ini disebut dediferensiasi (kembali kekeadaan tidak terdiferensiasi).

Pada proses dediferensiasi sel-sel pada eksplan, yang tadinya dalam keadaan quiescent atau dorman, diinduksi untuk aktip kembali melakukan pembelahan. Induksi dediferensiasi dapat dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin kedalam medium kultur, auksin sintetik yang umum digunakan adalah 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dengan konsentrasi maksimum 2 mg/1. Auksin substitusi seperti picloram (4-amino-3,5,6trichloropyridine-2-carboxylic

acid) dan dicamba (3,6-dichloro-o-anisic acid) sering digunakan untuk induksi dediferensiasi tanaman berkayu. Sel-sel akan terus membelah selama masih uipelihara didalam medium induksi. Zat-zat pengatur tumbuh tersebut diatas diketahui berfungsi sebagai mutagenic agent. Sel-sel yang dipelihara terlalu lama didalam medium induksi akan mengalami mutasi, tetapi tidak kehilangan sifat totipotensinya. Laju pertumbuhan sel, jaringan atau organ tanaman didalam kultur akan
menurun setelah periode waktu tertentu, umumnya segera terlihat dengan adanya gejala nekrosis pada eksplan. Hal ini disebabkan karena menyusutnya kadar nutrien medium dan terbentuknya senyawa-senyawa racun yang dilepaskan oleh eksplan disekitar medium. Untuk itu harus dilakukan sub-kultur yaitu pemindahan sel\sel-sel, jaringan atau organ kedalam medium baru. Tujuan dilakukannya subkultur adalah untuk mempertahankan laju pertumbuhan sel-sel tetap konstan dan untuk diferensiasi kalus. Medium baru yang digunakan dapat sama atau berbeda dengan medium semula.
Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya morfogenesis, yaitu proses terbentuknya organ-organ baru (de novo) yang kemudian akan tumbuh menjadi tanaman utuh. Tanaman regenerasi yang dihasilkan dengan teknik kultur jaringan disebut plantlet, pembentukan plantlet terjadi melalui dua proses yang berbeda:
a. Organogenesis yaitu diferensiasi meristem unipolar, menghasilkan ujung tunas (shoot tip) yang akan menjadi tunas (caulogenesis) atau ujung akar (root tip) yang akfn menjadi akar (rhizogenesis). Pada proses organogenesis diperlukan dua tahap induksi, masing-masing menggunakan medium dengan zat pengatur tumbuh yang berbeda. Tahap pertama biasanya adalah induksi pembentukan tunas, proses caulogenesis diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin kedalam medium kultur. Tahap yang kedua adalah induksi pembentukan akar, proses rhizogenesis ini dikerjakan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin.

b. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses diferensiasi meristem bipolar yang berupa bakal tunas dan akar, dua meristem yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman utuh. Embrio yang terbentuk selanjutnya akan tumbuli dan berkembang menjadi tanaman utuh. Pertumbuhan dan perkembangan embrionya berlangsung secara bertahap melalui proses yang identik dengan proses embryogenesis zygotik, yaitu terbentuknya struktur bipolar melalui tahapan bulat (globular), jantung (heart stage), torpedo, dan akhirnya berkecambah menjadi plantlet.

Morfogenesis in vitro dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi tanpa melalui tahapan kalus terlebih dahulu. Sel-sel diinduksi langsung menjadi embriogenik, hal ini dapat dikerjakan dengan menanam eksplan pada medium dengan kombinasi zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin dan sitokinin secara simultan. Penemuan terbaru menunjukan bahwa perlakuan heat shock pada daun Chicorium hybrid 474, dapat menginduksi sel-sel daun menjadi embriogenik. Pada sel gametik (mikrospora) induksi menjadi embriogenik dilakukan dengan memberikan stres. Stres dapat diberikan secara fisik berupa cold shock atau heat shock, dapat juga secara khemis yaitu dengan mengkulturkan pada medium starvation (medium minimal yang hanya terdiri dari garam-garam makro dan mannitol) atau dengan memberikan stres osmotik. Sel-sel yang sudah terinduksi menjadi embriogenik adalah identik dengan zygot, sehingga dapat melanjutkan petumbuhannya menjadi embrio dan selanjutnya tanaman utuh.
Morfogenesis secara tidak langsung umumnya melalui tahapan kalus terlebih dahulu. Kalus yang lunak jika ditransfer kedalam medium cair akan membentuk suspensi sel yang aktip tumbuh. Kultur sel adalah kultur dengan menggunakan sel sebagai eksplan, eksplan berasal dari sel-sel yang sudah mengalami dediferensiasi (kalus). Kalus yang digunakan sebagai eksplan pada kultur sel disebut inokulum. Kultur sel dipelihara didalam medium cair yang diinkubasi dengan atau tanpa penggojokan. Jika proses induksi dediferensiasinya benar, maka gen-gen yang bertanggung jawab terhadap totipotensi akan berfungsi, pembelahan sel-selnya menjadi terkendali, membentuk sel-sel yang terorganisir (embryo).

Embrio yang terbentuk adalah dari sel-sel somatik atau gametik dan bukan dari zygot, embrio demikian disebut embrio adventip prosesnya disebut embryogenesis somatic selanjutnya akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh melalui proses yang identik  dengan proses embryogenesis zygotic.











Thursday 23 May 2013

PEMANASAN GLOBAL, LINGKUNGAN DAN PERTANIAN

Pendahuluan
 
Global Warming sudah merupakan hal banyak dibicarakan sejak memanasnya bumi ini. Meningkatnya suhu bumi, mencairnya es di kutub utara,  meningkatnya muka air laut serta perubahan iklim global merupakan dampak dari pemanasan global. 
 
Lalu apa penyebab pemanasan global itu? Pemanasan global merupakan efek dari meningkatnya jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di permukaan bumi. GRK sendiri terdiri dari gas Metana (NH4), Karbon dioksida (CO2), uap air (H2O), dan Nitrogen oksida (NOX, NxO).

Meningkatnya gas rumah kaca disebabkan oleh kegiatan manusia dalam memproduksi GRK lebih besar dari kemampuan lingkungan dalam memperbaiki dirinya. Secara alami, GRK dapat di daur ulang oleh lingkungan sehingga jumlahnya seimbang. Oleh adanya kegiatan manusia, GRK yang dihasilkan melebihi kemampuan lingkungan untuk mendaur ulang sehingga GRK terkumpul di atmosfer.

Sinar matahari yang masuk bumi mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda. Sebagian dipantulkan kembali ke angkasa luar dan sebagian berupa gelombang infra merah terperangkap di permukaan bumi. Itulah fungsi dari gas rumah kaca yaitu memperangkap sinar matahari untuk menghangatkan bumi. Karena bertambahnya GRK, maka jumlah gelombang infra merah yang terperangkap dipermukaan bumi semakin banyak karena tidak dapat keluar ke angkasa luar. Akibatnya suhu permukaan bumi semakin panas.

Masalah lingkungan seperti pemanasan global merupakan akibat dari mis-management. Menurut  Jeffrey Sals & Joseph Stelitz, negara dengan SDA yang tinggi mempunyai kinerja pembangunan lebih rendah. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Sehingga bencana lingkungan ini menjadi peringatan bagi seluruh bangsa.

Di Indonesia, sektor pertanian menyumbangan 13,6 persen gas rumah kaca. Emisi GRK sektor pertanian tanpa lahan gambut 70 persen berasal dari sawah, 29,9 persen dari peternakan dan 0,1 persen dari pembakaran residu pertanian. Gas utama yang diemisikan adalah gas metan dan N2O. Jika ditambah dengan alih fungsi lahan dan kehutanan, emisi GRK yang dihasilkan bertambah 47 persen.

Kegiatan pertanian berpengaruh pada pelepasan GRK dan pemanasan global juga mempengaruhi sektor pertanian. Kegiatan tersebut antara lain teknik pembukaan lahan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian, tipe penggunaan lahan dan umur penggunaan lahan serta keadaan air tanah.

Teknik pembukaan lahan sangat perbengaruh pada pelepasan GRK. Pembukaan lahan dengan pembakaran lahan akan melepaskan banyak CO2 ke udara. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian akan membuka cadangan karbon terbesar sehingga cadangan tersebut terlepas ke udara. Drainase dan pembakaran gambut akan memperparah pelepasan GRK. Tipe penggunaan seperti untuk sawah atau untuk lahan kering akan melepas GRK yang berbeda. Lahan basah menyumbang GRK lebih banyak disbanding lahan kering. Umur penggunaan lahan berpengaruh terhadap emisi GRK. Semakin lama lahan digunakan sebagai lahan pertanian, maka akan semakin banyak gas yang dilepaskan. Keadaan air tanah mempengaruhi pelepasan GRK. Semakin dalam air di lahan sawah maka semakin banyak gas metan yang dilepaskan. Apabila sawah kekurangan air, maka semakin banyak gas N2O yang dilepaskan. Keadaan seimbang didapatkan dengan keadaan air sawah macak-macak (kurang lebih 2-5 cm).

Dampak dari pemanasan global bagi pertanian antara lain adanya banjir di musim basah dan kekeringan di musim kering.oleh karena itu perlu perencanaan adaptasi lingkungan antara lain dengan menyesuaikan pola tanam dan menerapkan teknologi penekan emisi.

Dalam presentasi pada COP 13, Presiden RI menyampaikan pendekatan dan strategi umum dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan dan strategi tersebut antara lain bahwa pembangunan dan pelestarian lingkungan tidak dipertentangkan tetapi harus diselaraskan dan disinergikan. Yang kedua, aksi sukarela Indonesia dalam upaya peningkatan kemampuan absorbsi karbon, dan ketiga Indonesia melakukan upaya pengurangan emisi karbon melalui aksi sukarela yang dijabarkan melaui berbagai kebijakan yang mencakup semua sektor.

Secara nasional, untuk menurunkan GRK pada tahun 2020, Departemen Pertanian telah membuat rencana aksi nasional penurunan GRK. Untuk tanam mineral kegiatannya yaitu: (1) PLTB dan optimalisasi pemanfaatan lahan; (2) penerapan teknologi budidaya tanaman; (3) pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida; (4) pengembangan areal perkebunan di lahan tidak berhutan, terlantar dan terdegradasi (APL); (5) pemanfaatan kotoran/urine ternak dan limbah pertanian untuk bio energi dan pupuk organik; dan (6) penelitian dan pengembangan teknologi rendah emisi, metodologi MRV sektor pertanian.

Sedangkan rencana aksi nasional openurunan GRK 2020 areal pertanian di lahan gambut melalui kegiatan (1) pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan; (2) rehabilitasi, reklamasi dan revitalisasi lahan gambut terlantar/terdegradasi pada areal pertanian; dan (3) penelitian dan pengembangan teknologi serta metodologi MRV pada areal pertanian di lahan gambut.

Kebijakan dan strategi umum pemanfaatan lahan gambut dalam Permentan No.14/2009 yaitu bahwa perluasan areal pertanian harus mengutamakan lahan mineral, dan pengembangan lahan gambut hanya ditujukan pada lahan gambut yang sudah dibuka. Pemanfaatan lahan gambut harus sangat selektif dan mempertimbangkan keberlanjutan sistem pertanian dan kelestarian SD lahan dan lingkungan dengan dampak seminimal mungkin. Selanjutnya adanya delineasi dan reevaluai kesesuaian dan dampak lingkungan secara empiris dan komprehensif (dinamika GRK, biologi, aspek sosial ekonomi) melalui sistem pengelolaan perkebunan pada lahan gambut berkelanjutan.

Upaya mitigasi lebih difokuskan pada sub sektor perkebunan, terutama melalui pengendalian pembakaran lahan, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dan lain-lain. Upaya adaptasi lebih difokuskan pada sektor tanaman pangan sub sektor yang paling rentan. Untuk sektor peternakan, teknologi mitigasi yang digunakan yaitu melalui pakan suplemen, perbaikan teknik pemberian pakan, pengelolaan kotoran, pemuliaan ternak dan pengelolaan pakan.

Untuk tanaman pangan teknologi adaptif yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi GRK dan menghadapi efek pemanasan global yaitu (1) varietas unggul yang beremisi rendah, tahan kekeringan, tahan genangan, berumur genjah (ultra genjah), toleran salinitas, dll. (2) inovasi tekologi pengelolaan lahan dan air berupa pengolahan tanah, sistem irigasi intermitten, teknologi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, teknologi pengomposan, dll. (3) inovasi sistem usahatani adaptif seperti PTT, SRI, SITT/SIPT, ekofarming, IP 200-400, dll., dan (4) teknologi “Zero waste” yaitu pemanfaatan limbah (organik) pertanian melalui pembuatan biogas, pengolahan limbah perkebunan, dll.

Adapun inovasi teknologi varietas unggul adaptif yang tersedia untuk menghadapi keadaan di atas yaitu:
  • VUA padi rendah emisi GRK: Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, Way apoburu.
  • VUA padi toleran salinitas: way Apoburu, Margasari, Lambur, GH-TS-1, GH-TS-2.
  • VUA padi tahan kering: Dodokan, Silungonggo, Towuti, Gajah Mungkur, Johnkok, Kalimutu, Jatiluhur, IR234-27, Inpari10, IR76510-24-dst, BP1550-1G-dst, IR77298-14-dst, OM5240, OM4495, Situ BAgendit, Situ Patenggang, S-3382, BP-23.
  • VUA padi umur genjah: Silungonggo, Dodokan, Inpari-10, Situ Bagendit, Mekongga, IR76510-24-dst, BP1550-1G-dst, OM5, OM8, OM6, dll.
  • VUA padi tahan rendaman/genangan: GH-TR-1, IR-69502-dst, IR7018-dst, IR70213-dst, IR70215-dst, Inpara3
  • VUA palawija tahan kering
Kedelai: Argomulyo, Burangrang, GH-SHR/Wil-60, GH983/W-D-5-211
Kacang tanah: Singa, Jerapah
Kacang hijau: Kutilang, GH-157D-KP-1
Jagung: Bima, Lamuru, Sukmaraga, Anoman
 
Penutup

Pemanasan global merupakan salah satu ancaman serius terhadap keberlanjutan sistem produksi pertanian dan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu diperlukan komitmen semua pihak untuk melakukan mitigasi dalam upaya mengurangi laju melalui penurunan emisi GRK. Berbagai inovasi teknologi diperlukan untuk mitigasi perubahan iklim dan adaptasi untuk mengurangi dampaknya. Sebagian dari teknologi tersebut sudah tersedia tetapi perlu sosialisasi dan dukungan berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

Referensi:
  • Bastaman, H. Revitalisasi Pembangunan Lingkungan Pertanian Menghadapi Global Warming. Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat. Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
  • Radjagukguk, R. Pertanian Berkelanjutan dan Pemanasan Global. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada
  • Las, I dan Surmaini, E. Perlunya Pengembangan Teknologi Pertanian untuk MEnekan Pemanasan Global. Badan Litbang pertanian. Kementrian Pertanian.



Sumber referensi berasal dari 
materi Seminar Nasional Revitalisasi Pembangunan Lingkungan Pertanian Menghadapi Global Warming Tanggal 11 Maret 2010 di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
Pemutakhiran Terakhir ( Thursday, 01 April 2010 ) 
http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbpp-binuang/index.php?option=com_content&task=view&id=51&Itemid=1

PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN



Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mulai mendapat perhatian yang serius sejak dicanangkannya Deklarasi Stockholm pada Tanggal 5 Juli 1972. Sejak itu seluruh negara di dunia,  mulai memberikan perhatian yang serius pada  masalah lingkungan hidup (Salim,1993).  Deklarasi Stockholm, kemudian dilanjutkan dengan Agenda 21 sebagai hasil  KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002. 

Deklarasi Stockholm  dan Agenda 21, memotivasi  pemerintah Republik Indonesia untuk  semakin memberikan perhatian yang serius pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (Soemarwoto,2001).  Perhatian pemerintah dibuktikan dengan diterbitkannya Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Perhatian tersebut juga ditunjukkan dengan besarnya anggaran untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.(Amsyari.1995).   Namum demikian, Undang-undang, Peraturan dan Anggaran yang  cukup besar, ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,  terus terjadi dan semakin lama semakin meluas.
         Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian disempurnakan menjadi  Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi  Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009,   ternyata tidak mampu mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Para perusak lingkungan tetap saja melakukan aksinya, sehingga degradasi sumberdaya alam dan lingkungan terus terjadi.(Mustari, 2004).

DAMPAK AKTIVITAS PERTANIAN  TAK RAMAH LINGKUNGAN

Kerusakan sumberdaya lahan pertanian terjadi karena aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan,  terus terjadi di semua propinsi, sehingga lahan kritis terus bertambah dari tahun ke tahun (Soemarwoto,2001).

Menurut Soemarwoto. (2001), sistem pertanian yang terlalu banyak menggunakan input bahan kimia, selain menimbulkan pencemaran, juga menyebabkan terjadinya degradasi  tanah, sehingga  produktivitas lahan semakin menurun dan  tidak mampu memberikan hasil yang  optimal. Hasil penelitian Ala dkk. (2000) membuktikan bahwa pemupukan urea dapat meningkatkan kepadatan tanah, menurunkan tingkat infiltrasi dan meningkatkan erosi.

Eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan aspek ekologi, terus terjadi sehingga sumberdaya hutan rusak dan kehilangan fungsi hidroorologisnya.   Hal ini mengakibatkan,     banjir dan kekeringan. Banjir yang mengakibatkan kerugian harta dan merenggut jiwa manusia, merupakan fenomena yang selalu terjadi setiap tahun. Fenomena banjir  ini merupakan hal yang sangat memilukan dan memalukan, bagi hamba Allah yang berkiprah di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi, 2001).
Selain kerusakan sumberdaya alam, juga terjadi  pencemaran udara dan air,   baik di kawasan perkotaan  maupun di kawasan pedesaan.  Di kawasan perkotaan,    pencemaran udara dan air,  terjadi karena industri dan penggunaan kendaraan bermotor, yang setiap saat memuntahkan sisa-sisa pembakaran bahan bahan bakar. Di kawasan pedesaan,  pencemaran air terjadi  karena penggunaan  pestisida, herbisida, pupuk an-organik dan bahan kimia lainnya  pada kegiatan pertanian. Penggunaan pestisida yang dimaksudkan untuk memberantas hama dan penyakit, terbukti telah menyebabkan pencemaran pada lingkungan dan secara langsung maupun tidak langsung menganggu kesehatan manusia (Fardiaz.1992).

SISTEM PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Azas berkelanjutan adalahh salah satu azas pengelolaan sumberdaya alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, di mana kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan harus dilestarikan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang. Azas tersebut sejalan dengan  konsep pertanian berwawasan lingkungan, yang sejak beberapa tahun ini mulai  dilaksanakan di negara kita.
Pertanian berwawasan lingkungan didefisikan sebagai aktivitas pertanian yang secara ekologis sesuai, secara ekonomis menguntungkan, secara sosial diterima dan mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam  lingkungan (Susanto, 2002). Sesuai definisi tersebut dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam maka  sistem pertanian ramah lingkungan merupakan konsep pembangunan pertanian yang harus  diterapkan di negara kita,  yang kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan sudah sangat   parah.          

Menurut, Brian (1995), aktivitas pertanian yang banyak menggunakan bahan kimia, terbukti telah menimbulkan pencemaran,  merusak ekosistem,  dan  sangat menganggu kesehatan manusia, sehingga harus diganti dengan aktivitas pertanian yang sedikit mungkin menggunakan bahan kimia.        

Agar program pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) menggunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan  konservasi tanah dan air, (c) memperhatikan keseimbangan ekosistem dan (d) mampu menjaga stabilitas produksi secara berkelanjutan (Susanto.2002).

Pertanian berwawasan lingkungan yang biasa juga disebut pertanian organik merupakan sistem pertanian yang meminimalkan penggunaan pupuk an-organik, pestisida, herbisida, fungisida, dan bahan kimia lainnya. Menurut Zebua (2003), tujuan yang hendak dicapai dengan melaksanakan sistem pertanian ramah lingkungan,  adalah (a) keseimbangan ekologi, (b) terjaganya keaneka ragaman hayati, (c) terjaganya kelestarian sumberdaya alam, (d) lingkungan hidup yang tidak tercemar dan (e) tercapainya produksi pertanian yang berkelanjutan.

Menurut Wididana (1997), sistem pertanian berwawasan lingkungan awalnya berkembang dari konsep pertanian organik yang di perkenalkan oleh Mokichi Okada pada tahun 1935, yang kemudian dikenal dengan konsep Kyusei Nature Farming (KNF). Konsep ini memiliki lima prinsip, yaitu : (a) Menghasilkan bahan makanan yang aman dan bergizi; (b) Menguntungkan baik secara   ekonomi   maupun   ekologi;  (c) Mudah  dilaksanakan    (d) selaras dengan  alam dan (e) tidak menimbulkan dampak pada lingkungan, secara langsung maupun tidak langsung.  Menurut Soemarwoto (2001), sistem pertanian berwawasan lingkungan pada prinsip adalah bersahabat dan selaras dengan sumberdaya alam dan lingkungan. 

Sistem pertanian berwawasan lingkungan, merupakan salah bagian dari sistem pengembangan pertanian berkelanjutan, yang dapat terlaksana, bila memenuhi lima pilar, yaitu (a) produktif, (b) beresiko kecil, (c) tidak menimbulkan degradasi lahan dan air, (d) menguntungkan secara ekonomi jangka panjang dan (e) diterima oleh masyarakat (Ala, 2001).

Prinsip  dasar sistem pertanian berwawasan lingkungan adalah (a) produksi dikontrol oleh keragaman sistem, (b) memadukan tanaman pohon – tanaman pangan – tanaman pakan – ternak – tanaman penutup tanah, (c) mempertahankan kesuburan tanah dengan menggunakan bahan organik, (d) hama dan penyakit  dikontrol secara terpadu, dan (e) melaksanakan konservasi tanah dan air dengan menggunakan tanaman (King.1994).

Agar sistem pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) mengunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan  konservasi tanah dan air, (c) menjaga stabilitas produksi untuk jangka panjang dan berkelanjutan,  (d) memperhatikan keseimbangan ekosistem, (e) mampu menyediakan kebutuhan lokal, kebutuhan dalam negeri dan bahkan untuk ekspor (Susanto.2002).
         
Kaidah tersebut hendaknya menjadi perhatian para pakar, para petani, para penyuluh dan para pengambil keputusan di bidang pertanian,  agar  sistem pertanian ramah lingkungan ini  mampu memberikan hasil yang memuaskan.  Perhatian tersebut juga hendaknya diberikan oleh masyarakat kampus,, para pengusaha, para tokoh agama dan para stakeholders lainnya.

MASALAH YANG DIHADAPI

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan sistem pertanian berwawasan lingkungan adalah (a) biaya produksi mahal, (b) memerlukan banyak tenaga kerja, (c) seolah-olah kembali ke pertanian tradisional, (d) produksi dan produktivitas rendah, (e) input yang digunakan jumlah dan volumenya besar, (f) biaya pengangkutan input mahal, dan (g) harga produksi sama saja dengan harga produksi pertanian yang menggunakan input bahan kimia (Mustari,2004).

Banyaknya masalah tersebut membuat banyak petani masih sangat sulit menerima sistem pertanian ramah lingkungan. Hasil penelitian untuk mengetahui persepsi dan penerimaan petani terhadap pertanian berwawasan lingkungan yang dilakukan di Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa, persepsi petani terhadap sistem pertanian berwawasan lingkungan kurang baik sehingga masih sangat banyak petani yang belum mau melaksanakan sistem pertanian berwawasan lingkungan ini, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2

Tabel 1. Persepsi Petani Terhadap Sistem Pertanian berwawasan Lingkungan
Persepsi/Pendapat
Jumlah Petani
%
Tidak ada pendapat, karena tidak tahu
78
23.5
Baik,
158
47.6
Tidak Baik
96
28.9
Sumber : Mustari.2004
Tabel 2. Mau atau Tidaknya  Petani Melaksanakan Sistem Pertanian berwawasan  Lingkungan
Mau Atau Tidak Melaksanakan
Jumlah Petani
%
Tidak Mau Melaksanakan
101
30.4
Mau Melaksanakan
231
69.6
Sumber : Mustari (2004)

Hasil penelitian menunjukkan sebuah perusahan perkebunan besar yang beroperasi di Kawasan Timur Indonesia, ternyata belum menerapkan sistem pertanian berwawasan lingkungan. Hal ini merupakan fenomena, betapa sulitnya menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan, baik oleh para petani, maupun oleh perusahaan perkebunan besar.(Syarifuddin.2005)


STRATEGI PENGEMBANGAN
      Sistem pertanian berwawasan lingkungan sangat erat kaitannya dengan program pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Keduanya merupakan kegiatan yang tidak  terpisahkan satu  dengan lainnya karena merupakan kegiatan yang saling berkait dan saling mempengaruhi. Kedua kegiatan ini harus dilaksanakan dalam satu sistem yang saling bersinergi satu dengan lainnya serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. 
        Melaksanakan  kegiatan sistem pertanian berwawasan lingkungan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk Universitas khususnya yang ada Fakultas Pertanian mengemban amanah dan  tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi melaksanakan kedua kegiatan yang sangat  strategis tersebut. Perguruan Tinggi dengan “Tri Dharma” nya yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat,   harus berperan secara pro aktif dalam  melaksanakan pertanian ramah lingkungan.
Universitas yang ada Fakultas Pertaniannya harus berpartisipasi secara pro aktif, sehingga sistem pertanian ramah lingkungan dapat dapat dilaksanakan di Indonesia. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan  di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Ketiga bentuk dharma perguruan tinggi  ini sangat diperlukan  untuk menunjang program pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menerapkan sistem pertanian berwawasan lingkungan.
         
Di bidang pendidikan, partisipasi dapat dilakukan dengan memasukkan muatan program pembangunan berkelanjutan  dalam kurikulum pada beberapa program studi yang relevan. Di bidang penelitian, para dosen bersama para mahasiswa  dapat melakukan penelitian kemudian mengaplikasikan hasil penelitiannya dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

Langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk menerapkan pertanian berwawasan lingkungan, adalah (a) memasukan muatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada  beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan sistem pertanian berwawasan lingkungan, (b) melaksanakan penelitian secara sistimatik, terarah dan berkelanjutan. (c) melaksanakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat, (d) melakukan sosialisasi kepada para konsumen agar lebih memprioritasnya hasil produksi pertanian ramah lingkungan, dengan demikian harga produksi menjadi lebih tinggi, (e) mendesak pemerintah untuk memberikan kemudahan, fasilitas dan subsidi kepada para petani yang melaksanakan sistem pertanian ramah lingkungan  dan (f) menciptakan jaringan kemitraan dengan berbagai stake holder untuk mengembangan sistem pertanian berwawasan lingkungan,

Dalam rangka pengembangan sistem pertanian berwawasan lingkungan, Perguruan Tinggi hendaknya menjadi ujung tombak  pelaksanaan sistem pertanian ramah lingkungan. Perguruan Tinggi, jangan hanya menjadi “menara gading” yang hanya “indah” dipandang, namum tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Perguruan Tinggi harus menjadi “menara suar” yang mampu memandu masyarakat  untuk    pengembangan pertanian ramah lingkungan dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan

 sumber: ims.unhas.ac.id

. 

TANAH DAN KLASIFIKASINYA

Tanah adalah bagian penting dari hamparan permukaan bumi yang dipijak setiap harinya. Tanah di tropika berwarna coklat dan ada pula yang kemerah-merahan. Klasifikasi tanah sangat banyak.Tanah merupakan penopang kehidupan manusia di muka bumi. Menurut Ramman (Jerman, 1917), tanah sebagai bahan batuan yang sudah dirombak menjadi partikel-partikel kecil yang telah berubah secara kimiawi bersama-sama dengan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang hidup di dalam dan di atasnya. Menurut Saifudin Sarief  (1986), tanah adalah benda alami yang terdapat dipermukaan bumi yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukan batuan dan bahan organik (pelapukan sisa tumbuhan dan hewan), yang merupakan medium pertumbuhan tanaman dengan sifat-sifat tertentu yang terjadi akibat gabungan dari faktor-faktor alami, iklim, bahan induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan lamanya waktu pembentukan

     Proses Pembentukan Tanah 

Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang berasal dari batuan yang mengalami pelapukan. Jadi telapuknya batuan itu merupakan proses penting dalam pembentukan tanah, suhu yang tinggi pada siang hari menyebabkan permukaan batuan memenas dan mengembang selama batuan tersebut terkena panas maka akan terjadi pelapukan, suhu yang rendah pada malam hari menyebabkan  pendinginan pada batuan, hal ini juga dapat menyebabkan pelapukan, hujan turun mengenai batuan sehingga batuan mengerut pada saat suhu turun, hal ini juga dapat mengakibatkan pelapukan, karena adanya pemanasan dan pendinginan secara bergantian menyebabkan permukan batuan retak dan akhirnya terjadilah pelapukan, akhirnya dari hancuran-hancuran batuan yang diakibatkan beberapa hal tadi, membentuk tanah, dan ahkirnya menjadi sebuah tanah baru.

     Kegunaan Tanah

Banyak sekali kegunaan tanah bagi kelangsungan hidup.Tanah sebagai tempat penyimpanan air dan tumbuhnya tanaman serta pohon-pohon yang dapat menjaga kita dari bencana alam, seperti longsor.
Di dalam tanah atau perut bumi terkandung unsur-unsur dan kekayaan alam yang tidak ternilai, contonhya minyak bumi, batu bara, emas, dan lain-lain. Zaman dahulu, konon tanah juga sering digunakan untuk menyimpan atau mengubur harta karun.
Tanah pun dapat dijadikan barang atau hiasan yang mengandung nilai komersil.Tanah liat dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu bata dan kerajinan tangan seperti patung, vas bunga, guci, kendi atau teko, dan lain-lain.
 
Tanah bagi Masyarakat Purba
Pada zaman purba, tanah digunakan untuk membangun tempat tinggal dan tempat pemujaan.Candi-candi dan piramid peninggalan zaman purba dibuat dari tanah liat yang dibentuk menjadi batu bata, kemudian dibakar agar awet dan tidak mudah pecah.
Selain digunakan untuk membuat bangunan, masyarakat purba menggunakan tanah untuk membuat peralatan rumah tangga, seperti gerabah.

       Jenis-Jenis Tanah

Tanah adalah sabagai laboratorium alam yang menyediakan unsure hara bagi tanaman, dalam pendidikan gografi dikenal dengan geografi tanah , yang mempelajari sifat-sifat dan cirri-ciri tanah pada berbagai daerah tertentu dalam konteks keruangan, yang sudah mecakup didalamnya ada persamaan dan perbedaan daerah atau wilayah yang satu dengan yang lain maupun kondisi fisik ( iklim, tanah, bentuk, wilayah, perairan, flora dan fauna d an lain-lain)
Tanah juga memiliki kandungan zat-zat yang berguna bagi tanaman dan mikro organisme yang berda dalam tanah, zat-zat ini juga merupakan kesatuan komponen pembentuk tanah yaitu;
 
1.      Bahan mineral
Adalah bahan pembentuk tanah yang berasal dari pelapukan batuan yang susunan mineralnya bervariasi tergantug sumber batuan yang melapuk, baik itu dari batuan kapur, yang setelah berproses menjadi tanah kapur maupun batuan-batuan yang lanya
2.      Bahan organik
Adalah bahan pembentuk tanah yang terjadi akibat proses pelapukan, maupun pembusukan dari bahan-bahan organic baik dari hewan, tumbuhan maupun jasad remik lainnya.
3.      Air
Air peranannya dalam proses pembentuk tanah adalah, sebagai pengikis tanah yang ada di pegunungan, pesisir pantai, pinggir sungai, maupun pinggir danau, dalam pergerakannya air mengikis suatu tanah, dengan berbagai cara biasa dari glombang, hujan, tumpukan air (genangan),dengan terkikisnya tanah tersebut maka terbentuklah sebuah tanah yang baru, kalau di daerah pinggiran sungai air membantu dalam pengendapan yang sering kita kenal dengan tanah alluvial, yang mana tanahnya sangat subur, selain itu air juga berfungsi bagi tanaman sebagai unsure hara.
4.      Udara
Udara peranannya dalam pembentukan tanah adalah sebagai pengisi poro- pori dalam tanah, yang mana fungsi pori-pori tersebut adalah sebagai sirkulasi air dengan udara dalam tanah yang menyuburkan tanah.
 
E.     Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa kedalam kelompok-kelompok dan subkelompok-kelompok berdasarkan pemakaian-pemakaiannya. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran dan plastisitas.
1.            Klasifikasi Berdasarkan Tekstur
Dalam arti umum, yang dimaksud dengan tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan. Tekstur tanah dipengaruhi oleh ukuran tiap-tiap butir yang ada didalam tanah. Pada umumnya tanah asli merupakan campuran dari butir-butir yang mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Dalam sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur , tanah diberi nama atas dasar komponen utama yang dikandungnya , misalnya lempung berpasir, lempung berlanau dan seterusnya.
2.            Klasifikasi Berdasarkan Pemakaian
Klasifikasi berdasarkan tekstur adalah relatif sederhana karena ia hanya didasarkan distribusi ukuran tanah saja. Dalam kenyataannya, jumlah dan jenis dari mineral lempung yang terkandung oleh tanah sangat mempengaruhi sifat fisis tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kiranya perlu untuk memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebabkan adanya kandungan mineral lempung , agar dapat menafsirkan ciri-ciri suatu tanah. Karena sistem klasifikasi berdasarkan tekstur tidak memperhitungkan plastisitas tanah dan secara keseluruhan tidak menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting , maka sistem tersebut dianggap tidak memadai untuk sebagian besar dari keperluan teknik. Pada saat sekarang ada dua sistem klasifikasi tanah yang selalu dipakai oleh para ahli teknik sipil. Sistem-sistem tersebut adalah:
 
Sistem klasifikasi AASHTO dan Sistem klasifikasi Unified.
Pada Sistem Klasifikasi AASHTO dikembangkan dalam tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini sudah mengalami beberapa perbaikan. Klasifikasi ini didasarkan pada kriteria dibawah ini:
a)                  Ukuaran butir :
Kerikil: bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 75 mm dan yang tertahan di ayakan No.20 (2 mm).
Pasir: bagian tanah yang lolos ayakan No 10 (2 mm) dan yang tertahan pada ayakan No. 200 (0,075 mm).
Lanau dan lempung: bagian tanah yang lolos ayakan No. 200.
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempumyai indeks plastisitas sebesar 10atau kurang. Nama berlempung dipakai bila mana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastik sebesar 11 atau lebih.
b)     Apabila batuan ( ukurannya lebih besar dari 75mm) ditemukan didalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya , maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Sistem Klasifikasi Unified diperkenalkan oleh Casagrande  dalam tahun 1942 untuk digunakan pasa pekerjakaan pemnuatan lapanagn terbang yang dilaksakan oleh The Army Corps of Engineering selama perang dunia II. Dalam rangka kerja sama dengan United States Bureauof Reclamation tahun 1952, sistem ini disempurnakan.Sistem ini mengelompokkan tanah kedalam dua kelompok besar yaitu:
Tanah berbutir kasr (coarse-grained-soil), yaitu: tanah kerikil dan pasir dimana kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No.200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk kerikil (gravel)atau tanah berkerikil dan S adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.
Tanah berbutir halus (fine-granied-soil), yaitu tanah dimana lebih dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No.200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan O untuk lanau-organikdan lempung-organik.
Simbol-simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi USCS:
W : Well Graded ( tanah dengan gradasi baik )
P : Poorly Graded ( tanah dengan gradasi buruk )
L : Low Plasticity ( plasticitas rendah ) (LL<50)
H : High Plasticity ( plasticitas tinggi ) (LL>50)
Perbandingan antara Sistem AASHTO dengan Sistem Unified
Kedua sistem klasifikasi, AASHTO dan Unified, adalah didasarkan pada tekstur dan plastisitas tanah. Juga kedua sistem tersebut membagi tanah dalam dua kategori pokok, yaitu: berbutir kasar (coarse-grained) dan berbutir halus ( fine-grained), yang dipisahkan oleh ayakan No. 200. Menurut sistem AASHTO, suatu tanah dianggap sebagai tanah berbutir halus bilamana lebih dari 35% lolos ayakan No. 200. Menurut sistem Unified, suatu tanah dianggap sebagai tanh berbutir halus apabila lebih dari 50% lolos ayakan No. 200. Suatu tanah berbutir kasar yang megandung kira-kira 35% butiran halus akan bersifat seperti material berbutir halus.
Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi.Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organismebiologi. Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia.Untuk memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961) yang masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan 1982.
Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS).Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan.Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974.Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini.Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.

Sistem Soil Taxonomy AS (USDA)

Sistem USDA atau Soil Taxonomy dikembangkan pada tahun 1975 oleh tim Soil Survey Staff yang bekerja di bawah Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Sistem ini pernah sangat populer namun juga dikenal sulit diterapkan.Oleh pembuatnya, sistem ini diusahakan untuk dipakai sebagai alat komunikasi antarpakar tanah, tetapi kemudian tersaingi oleh sistem WRB.Meskipun demikian, beberapa konsep dalam sistem USDA tetap dipakai dalam sistem WRB yang dianggap lebih mewakili kepentingan dunia.
Sistem klasifikasi tanah terbaru ini memberikan Penamaan Tanah berdasarkan sifat utama dari tanah tersebut. Menurut Hardjowigeno (1992) terdapat 10 ordo tanah dalam sistem Taksonomi Tanah USDA 1975, yaitu:
 
1.        Alfisol
Tanah yang termasuk ordo Alfisol merupakan tanah-tanah yang terdapat penimbunan liat di horison bawah (terdapat horison argilik)dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Padanan dengan sistem klasifikasi yang lama adalah termasuk tanah Mediteran Merah Kuning, Latosol, kadang-kadang juga Podzolik Merah Kuning.
2.        Aridisol
Tanah yang termasuk ordo Aridisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai kelembapan tanah arid (sangat kering). Mempunyai epipedon ochrik, kadang-kadang dengan horison penciri lain. Padanan dengan klasifikasi lama adalah termasuk Desert Soil.
3.        Entisol
Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Kata Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol.
4.        Histosol
Tanah yang termasuk ordo Histosol merupakan tanah-tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% (untuk tanah bertekstur pasir) atau lebih dari 30% (untuk tanah bertekstur liat). Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Kata Histos berarti jaringan tanaman. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Organik atau Organosol.
5.        Inceptisol
Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan. Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus, dan lain-lain.
6.        Mollisol
Tanah yang termasuk ordo Mollisol merupakan tanah dengan tebal epipedon lebih dari 18 cm yang berwarna hitam (gelap), kandungan bahan organik lebih dari 1%, kejenuhan basa lebih dari 50%. Agregasi tanah baik, sehingga tanah tidak keras bila kering. Kata Mollisol berasal dari kata Mollis yang berarti lunak. Padanan dengan sistem kalsifikasi lama adalah termasuk tanah Chernozem, Brunize4m, Rendzina, dan lain-lain.
7.        Oxisol
Tanah yang termasuk ordo Oxisol merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation (KTK) rendah, yaitu kurang dari 16 me/100 g liat. Banyak mengandung oksida-oksida besi atau oksida Al. Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah ini menunjukkan batas-batas horison yang tidak jelas. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Latosol (Latosol Merah & Latosol Merah Kuning), Lateritik, atau Podzolik Merah Kuning.
8.        Spodosol
Tanah yang termasuk ordo Spodosol merupakan tanah dengan horison bawah terjadi penimbunan Fe dan Al-oksida dan humus (horison spodik) sedang, dilapisan atas terdapat horison eluviasi (pencucian) yang berwarna pucat (albic). Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzol.
9.        Ultisol
Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu.
1       Vertisol
Tanah yang termasuk ordo Vertisol merupakan tanah dengan kandungan liat tinggi (lebih dari 30%) di seluruh horison, mempunyai sifat mengembang dan mengkerut. Kalau kering tanah mengkerut sehingga tanah pecah-pecah dan keras. Kalau basah mengembang dan lengket. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Grumusol atau Margalit.
Kesimpulan
Pada umumnya klasifikasi tanah merupakan alat untuk mempermudah mengingat sifat berbagai macam golongan jenis tanah supaya lebih bermanfaat dan lebih mempermudah penggunaan tanahnya. Sistem klasifikasi tanah harus cukup peka untuk dapat menerima perubahan-perubahan akibat kemajuan ilmu pengetahuan tanpa menimbulkan salah tafsir, karena nama dan istilah baru. sistem klasifikasi tanah mencakup berbagai tingkat kategori masing-masing dicirikan oleh kriteria sesuai dengan prinsip-prinsip taksonomi, makin luas daerah berlakunya makin tinggi tingkat kategorinya. Satuan-satuan tanah dipilih dari sejumlah ciri-ciri morfologi tanah dalam batas-batas tertentu. Pada umumnya kriteria yang membatasi ini dipilih menurut dasar-dasar genesis tanah dan menurut korelasi di antara tanah, vegetasi dan tindakan manusia dalam hubungannya dengan penggunaan tanah.

Sistem klasifikasi tanah yang terperinci dan lengkap akan sangat membantu menata dan menyusun penggunaan lahan untuk pertanian dan non-pertanian. Penggunaan lahan yang didasarkan atas hasil pengklasifikasian tanah menurut metode tertentu yang lebih rinci akan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan didasarkan hasil pengklasifikasian tanah menggunakan metode yang tidak rinci.

sumber:
ighooditya



sumber
S