Pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan mulai mendapat perhatian yang serius sejak dicanangkannya
Deklarasi Stockholm pada Tanggal 5 Juli 1972. Sejak itu seluruh negara di dunia, mulai
memberikan perhatian yang serius pada
masalah lingkungan hidup (Salim,1993).
Deklarasi Stockholm, kemudian dilanjutkan dengan Agenda 21 sebagai
hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada
tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002.
Deklarasi
Stockholm dan Agenda 21, memotivasi pemerintah Republik Indonesia untuk semakin memberikan perhatian yang serius pada
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (Soemarwoto,2001). Perhatian pemerintah dibuktikan dengan diterbitkannya
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah
yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Perhatian tersebut juga ditunjukkan dengan besarnya anggaran untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.(Amsyari.1995). Namum demikian, Undang-undang, Peraturan dan Anggaran yang cukup besar, ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, terus terjadi dan semakin lama semakin meluas.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yang
kemudian disempurnakan menjadi
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, yang kemudian disempurnakan lagi
menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009, ternyata tidak mampu mencegah
terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Para perusak lingkungan
tetap saja melakukan aksinya, sehingga degradasi sumberdaya alam dan lingkungan
terus terjadi.(Mustari, 2004).
DAMPAK AKTIVITAS
PERTANIAN TAK RAMAH LINGKUNGAN
Kerusakan sumberdaya lahan pertanian
terjadi karena aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan, terus terjadi di semua propinsi, sehingga
lahan kritis terus bertambah dari tahun ke tahun (Soemarwoto,2001).
Menurut Soemarwoto. (2001), sistem pertanian yang terlalu banyak menggunakan input bahan kimia, selain menimbulkan pencemaran, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, sehingga produktivitas lahan semakin menurun dan tidak mampu memberikan hasil yang optimal. Hasil penelitian Ala dkk. (2000) membuktikan bahwa pemupukan urea dapat meningkatkan kepadatan tanah, menurunkan tingkat infiltrasi dan meningkatkan erosi.
Eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan aspek ekologi, terus terjadi sehingga sumberdaya hutan rusak dan kehilangan fungsi hidroorologisnya. Hal ini mengakibatkan, banjir dan kekeringan. Banjir yang mengakibatkan kerugian harta dan merenggut jiwa manusia, merupakan fenomena yang selalu terjadi setiap tahun. Fenomena banjir ini merupakan hal yang sangat memilukan dan memalukan, bagi hamba Allah yang berkiprah di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi, 2001).
Menurut Soemarwoto. (2001), sistem pertanian yang terlalu banyak menggunakan input bahan kimia, selain menimbulkan pencemaran, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, sehingga produktivitas lahan semakin menurun dan tidak mampu memberikan hasil yang optimal. Hasil penelitian Ala dkk. (2000) membuktikan bahwa pemupukan urea dapat meningkatkan kepadatan tanah, menurunkan tingkat infiltrasi dan meningkatkan erosi.
Eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan aspek ekologi, terus terjadi sehingga sumberdaya hutan rusak dan kehilangan fungsi hidroorologisnya. Hal ini mengakibatkan, banjir dan kekeringan. Banjir yang mengakibatkan kerugian harta dan merenggut jiwa manusia, merupakan fenomena yang selalu terjadi setiap tahun. Fenomena banjir ini merupakan hal yang sangat memilukan dan memalukan, bagi hamba Allah yang berkiprah di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi, 2001).
Selain kerusakan sumberdaya alam, juga
terjadi pencemaran udara dan air, baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan pedesaan. Di kawasan perkotaan, pencemaran udara dan air, terjadi karena industri dan penggunaan
kendaraan bermotor, yang setiap saat memuntahkan sisa-sisa pembakaran bahan
bahan bakar. Di kawasan pedesaan,
pencemaran air terjadi karena
penggunaan pestisida, herbisida, pupuk
an-organik dan bahan kimia lainnya pada
kegiatan pertanian. Penggunaan pestisida yang dimaksudkan untuk memberantas
hama dan penyakit, terbukti telah menyebabkan pencemaran pada lingkungan dan
secara langsung maupun tidak langsung menganggu kesehatan manusia
(Fardiaz.1992).
SISTEM
PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Azas berkelanjutan adalahh salah satu azas pengelolaan sumberdaya alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, di mana kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan harus dilestarikan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang. Azas tersebut sejalan dengan konsep pertanian berwawasan lingkungan, yang sejak beberapa tahun ini mulai dilaksanakan di negara kita.
Pertanian berwawasan lingkungan didefisikan sebagai aktivitas pertanian yang secara ekologis sesuai, secara
ekonomis menguntungkan, secara sosial diterima dan mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam lingkungan (Susanto, 2002). Sesuai
definisi tersebut dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam maka sistem pertanian ramah lingkungan merupakan
konsep pembangunan pertanian yang harus
diterapkan di negara kita, yang
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan sudah sangat parah.
Menurut, Brian (1995), aktivitas pertanian yang banyak menggunakan bahan kimia, terbukti telah menimbulkan pencemaran, merusak ekosistem, dan sangat menganggu kesehatan manusia, sehingga harus diganti dengan aktivitas pertanian yang sedikit mungkin menggunakan bahan kimia.
Agar program pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) menggunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan konservasi tanah dan air, (c) memperhatikan keseimbangan ekosistem dan (d) mampu menjaga stabilitas produksi secara berkelanjutan (Susanto.2002).
Pertanian berwawasan lingkungan yang biasa juga disebut pertanian organik merupakan sistem pertanian yang meminimalkan penggunaan pupuk an-organik, pestisida, herbisida, fungisida, dan bahan kimia lainnya. Menurut Zebua (2003), tujuan yang hendak dicapai dengan melaksanakan sistem pertanian ramah lingkungan, adalah (a) keseimbangan ekologi, (b) terjaganya keaneka ragaman hayati, (c) terjaganya kelestarian sumberdaya alam, (d) lingkungan hidup yang tidak tercemar dan (e) tercapainya produksi pertanian yang berkelanjutan.
Menurut Wididana (1997), sistem pertanian berwawasan lingkungan awalnya berkembang dari konsep pertanian organik yang di perkenalkan oleh Mokichi Okada pada tahun 1935, yang kemudian dikenal dengan konsep Kyusei Nature Farming (KNF). Konsep ini memiliki lima prinsip, yaitu : (a) Menghasilkan bahan makanan yang aman dan bergizi; (b) Menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi; (c) Mudah dilaksanakan (d) selaras dengan alam dan (e) tidak menimbulkan dampak pada lingkungan, secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Soemarwoto (2001), sistem pertanian berwawasan lingkungan pada prinsip adalah bersahabat dan selaras dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
Sistem pertanian berwawasan lingkungan, merupakan salah bagian dari sistem pengembangan pertanian berkelanjutan, yang dapat terlaksana, bila memenuhi lima pilar, yaitu (a) produktif, (b) beresiko kecil, (c) tidak menimbulkan degradasi lahan dan air, (d) menguntungkan secara ekonomi jangka panjang dan (e) diterima oleh masyarakat (Ala, 2001).
Prinsip dasar sistem pertanian berwawasan lingkungan adalah (a) produksi dikontrol oleh keragaman sistem, (b) memadukan tanaman pohon – tanaman pangan – tanaman pakan – ternak – tanaman penutup tanah, (c) mempertahankan kesuburan tanah dengan menggunakan bahan organik, (d) hama dan penyakit dikontrol secara terpadu, dan (e) melaksanakan konservasi tanah dan air dengan menggunakan tanaman (King.1994).
Agar sistem pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) mengunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan konservasi tanah dan air, (c) menjaga stabilitas produksi untuk jangka panjang dan berkelanjutan, (d) memperhatikan keseimbangan ekosistem, (e) mampu menyediakan kebutuhan lokal, kebutuhan dalam negeri dan bahkan untuk ekspor (Susanto.2002).
Menurut, Brian (1995), aktivitas pertanian yang banyak menggunakan bahan kimia, terbukti telah menimbulkan pencemaran, merusak ekosistem, dan sangat menganggu kesehatan manusia, sehingga harus diganti dengan aktivitas pertanian yang sedikit mungkin menggunakan bahan kimia.
Agar program pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) menggunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan konservasi tanah dan air, (c) memperhatikan keseimbangan ekosistem dan (d) mampu menjaga stabilitas produksi secara berkelanjutan (Susanto.2002).
Pertanian berwawasan lingkungan yang biasa juga disebut pertanian organik merupakan sistem pertanian yang meminimalkan penggunaan pupuk an-organik, pestisida, herbisida, fungisida, dan bahan kimia lainnya. Menurut Zebua (2003), tujuan yang hendak dicapai dengan melaksanakan sistem pertanian ramah lingkungan, adalah (a) keseimbangan ekologi, (b) terjaganya keaneka ragaman hayati, (c) terjaganya kelestarian sumberdaya alam, (d) lingkungan hidup yang tidak tercemar dan (e) tercapainya produksi pertanian yang berkelanjutan.
Menurut Wididana (1997), sistem pertanian berwawasan lingkungan awalnya berkembang dari konsep pertanian organik yang di perkenalkan oleh Mokichi Okada pada tahun 1935, yang kemudian dikenal dengan konsep Kyusei Nature Farming (KNF). Konsep ini memiliki lima prinsip, yaitu : (a) Menghasilkan bahan makanan yang aman dan bergizi; (b) Menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi; (c) Mudah dilaksanakan (d) selaras dengan alam dan (e) tidak menimbulkan dampak pada lingkungan, secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Soemarwoto (2001), sistem pertanian berwawasan lingkungan pada prinsip adalah bersahabat dan selaras dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
Sistem pertanian berwawasan lingkungan, merupakan salah bagian dari sistem pengembangan pertanian berkelanjutan, yang dapat terlaksana, bila memenuhi lima pilar, yaitu (a) produktif, (b) beresiko kecil, (c) tidak menimbulkan degradasi lahan dan air, (d) menguntungkan secara ekonomi jangka panjang dan (e) diterima oleh masyarakat (Ala, 2001).
Prinsip dasar sistem pertanian berwawasan lingkungan adalah (a) produksi dikontrol oleh keragaman sistem, (b) memadukan tanaman pohon – tanaman pangan – tanaman pakan – ternak – tanaman penutup tanah, (c) mempertahankan kesuburan tanah dengan menggunakan bahan organik, (d) hama dan penyakit dikontrol secara terpadu, dan (e) melaksanakan konservasi tanah dan air dengan menggunakan tanaman (King.1994).
Agar sistem pertanian berwawasan lingkungan berhasil dan berdaya guna, program tersebut harus mengikuti kaidah sebagai berikut (a) mengunakan sedikit mungkin input bahan kimia, (b) melaksanakan tindakan konservasi tanah dan air, (c) menjaga stabilitas produksi untuk jangka panjang dan berkelanjutan, (d) memperhatikan keseimbangan ekosistem, (e) mampu menyediakan kebutuhan lokal, kebutuhan dalam negeri dan bahkan untuk ekspor (Susanto.2002).
Kaidah tersebut hendaknya menjadi perhatian para pakar, para petani, para penyuluh dan para pengambil keputusan di bidang pertanian, agar sistem pertanian ramah lingkungan ini mampu memberikan hasil yang memuaskan. Perhatian tersebut juga hendaknya diberikan oleh masyarakat kampus,, para pengusaha, para tokoh agama dan para stakeholders lainnya.
MASALAH YANG DIHADAPI
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan sistem pertanian berwawasan lingkungan adalah (a) biaya produksi mahal, (b) memerlukan banyak tenaga kerja, (c) seolah-olah kembali ke pertanian tradisional, (d) produksi dan produktivitas rendah, (e) input yang digunakan jumlah dan volumenya besar, (f) biaya pengangkutan input mahal, dan (g) harga produksi sama saja dengan harga produksi pertanian yang menggunakan input bahan kimia (Mustari,2004).
Banyaknya masalah tersebut membuat banyak petani masih sangat sulit menerima sistem pertanian ramah lingkungan. Hasil penelitian untuk mengetahui persepsi dan penerimaan petani terhadap pertanian berwawasan lingkungan yang dilakukan di Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa, persepsi petani terhadap sistem pertanian berwawasan lingkungan kurang baik sehingga masih sangat banyak petani yang belum mau melaksanakan sistem pertanian berwawasan lingkungan ini, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2
Tabel 1. Persepsi
Petani Terhadap Sistem Pertanian berwawasan Lingkungan
Persepsi/Pendapat
|
Jumlah Petani
|
%
|
Tidak
ada pendapat, karena tidak tahu
|
78
|
23.5
|
Baik,
|
158
|
47.6
|
Tidak
Baik
|
96
|
28.9
|
Sumber : Mustari.2004
Tabel 2. Mau atau
Tidaknya Petani Melaksanakan Sistem
Pertanian berwawasan Lingkungan
Mau Atau Tidak
Melaksanakan
|
Jumlah Petani
|
%
|
Tidak
Mau Melaksanakan
|
101
|
30.4
|
Mau
Melaksanakan
|
231
|
69.6
|
Sumber
: Mustari (2004)
Hasil penelitian menunjukkan sebuah perusahan perkebunan besar yang beroperasi di Kawasan Timur Indonesia, ternyata belum menerapkan sistem pertanian berwawasan lingkungan. Hal ini merupakan fenomena, betapa sulitnya menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan, baik oleh para petani, maupun oleh perusahaan perkebunan besar.(Syarifuddin.2005)
Hasil penelitian menunjukkan sebuah perusahan perkebunan besar yang beroperasi di Kawasan Timur Indonesia, ternyata belum menerapkan sistem pertanian berwawasan lingkungan. Hal ini merupakan fenomena, betapa sulitnya menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan, baik oleh para petani, maupun oleh perusahaan perkebunan besar.(Syarifuddin.2005)
STRATEGI PENGEMBANGAN
Sistem
pertanian berwawasan lingkungan sangat erat kaitannya dengan program pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Keduanya merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya karena merupakan kegiatan yang
saling berkait dan saling mempengaruhi. Kedua kegiatan ini harus dilaksanakan
dalam satu sistem yang saling bersinergi satu dengan lainnya
serta mampu meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara berkelanjutan.
Melaksanakan kegiatan sistem pertanian berwawasan lingkungan tersebut bukan hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah, tetapi menjadi tanggung jawab
semua pihak termasuk Universitas khususnya yang ada Fakultas Pertanian mengemban amanah dan tanggung jawab
untuk ikut berpartisipasi melaksanakan kedua kegiatan yang sangat strategis tersebut. Perguruan Tinggi dengan “Tri
Dharma” nya yaitu Pendidikan,
Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, harus berperan secara pro aktif dalam melaksanakan pertanian ramah lingkungan.
Universitas yang ada Fakultas
Pertaniannya harus berpartisipasi secara pro aktif,
sehingga sistem pertanian ramah lingkungan dapat dapat dilaksanakan di
Indonesia. Bentuk partisipasi yang
dapat dilakukan di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Ketiga
bentuk dharma perguruan tinggi ini
sangat diperlukan untuk menunjang
program pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan dengan menerapkan sistem pertanian berwawasan lingkungan.
Di bidang pendidikan, partisipasi dapat dilakukan dengan memasukkan muatan program pembangunan berkelanjutan dalam kurikulum pada beberapa program studi yang relevan. Di bidang penelitian, para dosen bersama para mahasiswa dapat melakukan penelitian kemudian mengaplikasikan hasil penelitiannya dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk menerapkan pertanian berwawasan lingkungan, adalah (a) memasukan muatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan sistem pertanian berwawasan lingkungan, (b) melaksanakan penelitian secara sistimatik, terarah dan berkelanjutan. (c) melaksanakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat, (d) melakukan sosialisasi kepada para konsumen agar lebih memprioritasnya hasil produksi pertanian ramah lingkungan, dengan demikian harga produksi menjadi lebih tinggi, (e) mendesak pemerintah untuk memberikan kemudahan, fasilitas dan subsidi kepada para petani yang melaksanakan sistem pertanian ramah lingkungan dan (f) menciptakan jaringan kemitraan dengan berbagai stake holder untuk mengembangan sistem pertanian berwawasan lingkungan,
Dalam rangka pengembangan sistem
pertanian berwawasan lingkungan, Perguruan Tinggi hendaknya menjadi ujung tombak pelaksanaan sistem pertanian ramah
lingkungan. Perguruan Tinggi, jangan hanya menjadi “menara gading” yang hanya “indah”
dipandang, namum tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Perguruan Tinggi harus
menjadi “menara suar” yang mampu
memandu masyarakat untuk pengembangan pertanian ramah lingkungan
dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan
sumber: ims.unhas.ac.id
.
sumber: ims.unhas.ac.id
.
No comments:
Post a Comment