Thursday 30 May 2013

sub-pokok bahasan 2

 SEJARAH PERKEMBANGAN DAN MANFAAT TEKNIK KULTUR JARINGAN

Pendahuluan
Membahas sejarah perkembangan kultur jaringan tidak dapat lepas dari sejarah perkembangan pengetahuan tentang sel. Dimulai dari penemuan mikroskop oleh Zakarias Jansen pada 1590, seorang pembuat kacamata dari Belanda, yang kemudian disempurnakan oleh Anthoni van Leeuwenhoek. Penemuan dan pengembangan mikroskop memungkinkan kita melihat struktur tubuh tumbuhan secara detail, seperti yang dikemukan oleh Robert Hooke seorang ahli matematika, dia menyamakan sel sebagai building block dari jaringan hidup. Pada tahun 1838-1839 seorang ahli botani, MV. Schleiden dan Theodore Schwann (ahli zoologi) lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan sel yang pada akhirnya melahirkan konsep totipotensi sel.

Teknik kultur jaringan yang semula digunakan untuk membuktikan teori totipotensi sel selanjutnya berkembang, selain menunjang ilmu-ilmu dasar seperti embriologi, fisiologi, biokimia dan genetika, sekarang terbukti dapat diaplikasikan pada bidang agroindustri dan farmasi.

 Materi subpokok bahasan 2
Percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa sel bersifat totipoten pertama kali dilakukan oleh Gottlieb Haberlandt seorang ahli botani dari Jerman pada tahun 1898 dan dipublikasikan pada 1902. Percobaannya dilakukan dengan mengisolasi sel daun Lamium purpureum , Erythronium, Ornithogalum dan Tradescantia, sel yang dikulturkan tetap viabel selama beberapa minggu tetapi tidak pernah membelah, sehingga dapat dikatakan percobaannya belum berhasil. Kegagalan percobaan Haberlandt terutama disebabkan karena kultur  dilaksanakan pada medium yang sangat sederhana dan tidak aseptis, menggunakan eksplan mesofil sel yang sudah sangat terdiferensiasi, dan tidak menggunakan zat pengatur tumbuh, pada waktu itu zat pengatur tumbuh belum diketemukan. Zat pengatur tumbuh berperan sangat penting pada proses pembelahan sel dan diferensiasi in vivo dan in vitro. Auksin ditemukan pada 1928-1930 oleh Went dan Thiman, sedangkan sitokinin baru pada 1955 oleh Miller dan kawan-kawan.


 Beberapa dekade setelah percobaan Haberlandt, penelitian-penelitian kultur in vitro tumbuhan lebih ditekankan pada kultur multiselular (jaringan atau organ) sebagai eksplan. Riset ini dipelopori oleh Philip Rodney White (1939), Roger Gautheret (1939), dan Piere Nobecourt (1939). White berhasil menumbuhkan potongan ujung akar tomat (Licopersicon esculetum) pada medium cair yang mengandung garam-garam anorganik, ekstrak yeast, dan sukrose. Pada waktu yang bersamaan Gautheret dari Perancis berhasil memacu pertumbuhan potongan jaringan kambium Salix caprea membentuk kalus dengan menambahkan zat pengatur tumbuh IAA pada medium kultur. Nobecourt berhasil mengembangkan teknik kultur kalus dengan eksplan umbi akar wortel (Daucus carota) Skoog dan Miller pada 1957 berhasil mengatur pertumbuhan akar dan tunas (organogenesis) dari kalus tembakau dengan menggunakan kombinasi auksin dan sitokinin pada medium. Pada tahun 1958 J. Reinert dan FC. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel pada kultur suspensi sel dengan eksplan umbi akar wortel. Didalam kultur ditemukan adanya embrio yang strukturnya mirip dengan embrio zigotik, kemudian disimpulkan bahwa embriogenesis telah terjadi secara in vitro. Pada waktu itu masih diperdebatkan apakah munculnya embrio yang kemudian jadi plantlet tersebut berasal dari sebuah sel atau kelompokan sel, didalam perkembangannya kemudian, dengan menggunakan teknik cell tracking, terbukti bahwa plantlet berasal dari sebuah sel.
Implikasi dari penemuan sitokinin adalah dimungkinkannya induksi pembentukan tunas secara in vitro pada berbagai tanaman hortikultura, sehingga dapat diaplikasikan untuk perbanyakan vegetatip (mikropropagasi). Pada kultur meristem, tanaman bebas virus dapat diperoleh dari tanaman yang sudah terinfeksi. Tanaman yang steril atau tidak dapat menghasilkan biji, dapat diperbanyak dengan mikropropagasi, teknik ini berkembang pesat antara 1960-1970.







Pertumbuhan dan perkembangan sel pada kultur dengan eksplan jaringan atau organ, tidak dapat dikontrol dengan ketat, sehingga bukan merupakan objek eksperimental yang ideal seperti yang dicita-citakan oleh Haberlandt. Objek yang ideal haruslah sel tunggal, sel tunggal dapat diperoleh dengan berbagai cara:
1. Kultur suspensi sel, dalam hal ini sel sudah mengalami dediferensiasi

2. Mikrospora



3. Protoplas, yaitu sel yang sudah dihilangkan dinding selnya.  
Setelah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh J. Reinert dan FC. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel, pada 1966 Guha dan Maheshwari berhasil memperoleh tanaman dari anther Datura innoxia, hasil penelitianyaditerbitkan di jurnal ilmiah Nature. Dari hasil pengamatannya diketahui bahwaplantlet bersifat haploid, jadi berasal dari mikrospora. Dengan perkembanganteknik kultur in vitro, pada 1972 C. Nitsch berhasil menginduksi mikrosporaDatura, Nicotiana, dan Licopersicon langsung menjadi plantlet, mikrosporadiisolasi dari anther kemudian langsung dikulturkan pada medium.
Kemajuan paling akhir dari teknik kultur in vitro adalah ditemukannyateknik kultur protoplas, teknik ini memungkinkan diisolasinya sel tumbuhan dalamjumlah besar langsung dari tanaman, dari kalus, atau dari kultur suspensi sel.Protoplas adalah sel tumbuhan yang sudah dihilangkan dinding selnya, sehingga disebut sebagai sel telanjang. Pada 1960 EC. Cocking berhasil untukpertamakalinya mengisolasi protoplas dari sel-sel akar dengan menggunakan ensim selulase. Cocking juga berhasil menunjukan adanya regenerasi dinding sel disekitar protoplas yang diisolasi dari jaringan loculus buah tomat. Kemajuanyang paling berarti dicapai sekitar tahun 1970 an ketika Nagata dan Takebeberhasil menunjukan adanya pembelahan protoplas yang diisolasi dari mesofil daun tembakau. Pembelahan ini terus berlanjut sampai terbentuk mikrokalus.Masih pada tahun yang sama Takebe, Labib dan Melchers berhasil meregenerasikan kalus, dari protoplas menjadi plantlet. Tahun-tahunsesudahnya jumlah tanaman regenerasi dari protoplas terus bertambah.
Rangkaian pencapaian yang mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sampai saat ini dapat dirangkum sebagai berikut : 

 1900 Percobaan-percoban awal untuk mengulturkan sel dan jaringan
tanaman pada kondisi tidak aseptis.   Formulasi permasalah oleh Haberlandt (1902).  


KULTUR JARINGAN DAN ORGAN 

1930-1950 1. Kultur organ (akar) 2. Kultur jaringan (aseptis): - kalus (penemuan auksin) 
MORFOGENESIS IN VITRO  1950-1960 1. Organogenesis (penemuan sitokinin)
2. Kultur sel (suspensi sel) 3. Embriogenesis somatic 
TEKNOLOGI PROPAGASI IN VITRO  1960-1970 1. Mikropropagasi
2. Tanaman bebas virus 3. Pengawetan plasmanutfah
 HAPLOIDY IN VITRO
1.Kultur anther (pollen embriogenesis) 2.Kultur mikrospora (anorogenesis) 3.Kultur ovule (ginogenesis) 4.Hibridisasi interspesifik dan kultur embrio
 PROTOPLAS
1970-1980 1. Isolasiprotoplas 2. Kultur protoplas 3. Tanaman regenerasi dari protoplas 4. Fusi protoplas 5. Hibridisasi somatic
GENETIKA SEL SOMATIK  1980-sekarang  1. Variasi somaklonal
   2. Teknologi pemulian mutasi in vitro 
REKAYASA GENETIKA  1. Identifikasi gen (teknologi rekombinasi DNA) 2. Isolasi gen 3. Kloning gen

4. Transformasi sel 5. Ekspresi gen 6. Tanaman transgenic 
Teknik kultur jaringan yang semula ditujukan untuk penelitian dasar dibidang biologi, terutama pembuktian totipotensi sel, sekarang telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang lain, terutama dibidang agribisnis dan farmasi.
1. Dibidang agribisnis. Aplikasi yang nyata dari teknik kultur jaringan tumbuhan adalah
dapat menekan beaya produksi karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatip singkat, tidak memerlukan lahan yang terlalu luas, tidak tergantung pada iklim, bebas hama dan penyakit sehingga dapat ditransport kemana saja, melewati batas-batas negara, tanpa melalui proses karantina. Yang lebih penting lagi, karena merupakan perbanyakan vegetatip, maka keturunannya akan sama dengan induknya. Survey yang dilaksanakan di negeri Belanda menunjukan, laboratorium mikropropagasi komersial pada tahun 1988 telah menghasilkan tanaman yang diperbanyak secara klonal sebanyak 65 juta (Pierik, 1988). Sedangkan di Indonesia mikropropagasi klonal telah sangat membantu program Hutan Tanaman Industri, pohon yang berhasil dikembangkan dengan metode ini antara lain Jati (Tectona





No comments:

Post a Comment